Tafsir Al‐Azhar ‐ jilid 1

Pada 12 hari bulan Rabi'ul Akhir 1386, bersetuju dengan 31 Juli 1966, ninik mamak dan Majlis Alim Ulama negeri Sungai Batang Tanjung Sani, yang di kedua negeri itu di zaman dahulu ayah, nenek dan nenek dari nenek saya menjadi Guru pembimbing ummat dalam Agama Islam, telah memberikan secara resmi gelar Tuanku Syaikh kepada saya, sebagai gelar pusaka yang dahulu beliau-beliau pakai dan terletak gelar itu sejak ayah saya wafat pada 21 Jumadil Akhir 1364 bersetuju dengan 2 Juni 1945.

Kata Pengantar Tafsir Al-Azhar

(Orang-orang yang saya kenang)
Seketika menyusun "Tafsir" ini, baik selama dalam tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk peribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan "Tafsir" ini. Mereka itu ialah, pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya dapat kelak menggantikan tempat beliau menjadi orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi, yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka dalam zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.

Pada 12 hari bulan Rabi'ul Akhir 1386, bersetuju dengan 31 Juli 1966, ninik mamak dan Majlis Alim Ulama negeri Sungai Batang Tanjung Sani, yang di kedua negeri itu di zaman dahulu ayah, nenek dan nenek dari nenek saya menjadi Guru pembimbing ummat dalam Agama Islam, telah memberikan secara resmi gelar Tuanku Syaikh kepada saya, sebagai gelar pusaka yang dahulu beliau-beliau pakai dan terletak gelar itu sejak ayah saya wafat pada 21 Jumadil Akhir 1364 bersetuju dengan 2 Juni 1945. Ketika "Tafsir" ini disusun selalu say a terkenang beliau, dan mengharap moga-moga amalku yang tiada sepertinya ini dapat kiranya menimbulkan rasa bahagia beliau di dalam alam barzakhnya, Amin.

Orang kedua yang saya kenangkan lagi ialah guru dan ipar saya, suami dari kakak saya yaitu kakanda Ahmad Rasyid Sutan Manshur. Beliaupun dari kecilku usia 9 tahun telah mendidikku pula dan telah memimpinku, sehingga aku dapat menjadi orang. Bila say a ziarah ke rumah beliau, selalu kelihatan rasa bangga pada airmukanya, karena adiknya telah menjadi. Kadang-kadang beliau terpaku kagum mendengarkan saya menguraikan suatu falsafah agama, dan beliau bertanya: "Dari mana kau dapat itu?" Lalu saya jawab: "Kakanda lupa, bahwa itu adalah percikan dari ajaran kakanda sendir". Moga-moga puas kiranya hati beliau membaca "Tafsirku” ini.

Orang ketiga yang saya kenangkan ialah isteri saya sendiri Siti Raham binti Endah Sutan. Masih kanak-kanak, kalau diukur dengan cara sekarang, kami telah dikawinkan 29 April 1929, saya dalam usia 22 tahun dan dia usia 15 tahun. Dari mulai anak tangga pertama dalam perjuangan hidup, untuk memintal sedikit luangan tempat dalam masyarakat bangsa dan agama, dia telah mendampingi saya. Sekarang kami telah beranak-pinak dan bercucu. Dia telah mengikuti saya dan mendampingi saya dalam hidup selarut selama itu, tidak pernah mengeluh ketika hidup kami melarat, dan tidak pernah menyombong waktu hidup kami menaik, cuma benirai airmata seketika saya dengan paksa dipisahkan dengan dia lebih dari dua tahun.

Dia adalah pahlawan yang tidak dikenal, yang disadarinya atau tidak, telah banyak memberikan pendorong bagiku buat maju. Sampai sekarang, telah dekat 40 tahun kami kawin, namun dia tetap dalam kesederhanaannya, maka di waktu menjelang tua ini, dia yang lebih banyak membimbing saya. Emas perak tidak ada yang akan saya tumpukkan di muka kakinya sebagai tanda syukur atas pemeliharaan Allah terhadap rumahtangga yang kami bina. Tetapi ''Tafsir" ini akan lebih daripada emas dan perak, sebab dia adalah hasil dari keringat saya ketika tekun menyusunnya, dan hasil dari airmata saya, seketika menulis di tempat sepi, lalu terkenang kepada dia.

Dan di samping semuanya itu teringatlah saya kepada Almarhumah ibu saya, Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah, yang meninggal dunia pada tahun 1934; dengan air-susunya saya dibesarkan, dengan cinta kasih-sayangnya dipupuk saya sampai dewasa. Sayang sekali sebelum saya dapat menunjukkan khidmat dan membalas cintanya, dia telah meninggal dunia. Moga-moga Allah melapangkan beliau di alam kuburnya; Amin.

Ayahku Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, Kakandaku Ahmat Rasyid Sutan Manshur, Sisi badanku Siti Raham binti Endah Sutan, lbuku Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah, T erimalah kiranya kenang-kenangan ini.

Prof. Dr. Syaikh Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah.

Selamat Membaca  

 Tafsir Al‐Azhar ‐ Prof. Dr. Hamka ‐ 10 jilid